Melepas Tukik di Pantee Ujong Pancu

Sepanjang minggu ini, banyak kegiatan yang layak untuk dituliskan, mulai dari acara melepas Tukik atau anak penyu beberapa hari lalu di Pante Ujong Pancu, Acara kawinan kawan saya kemarin hingga acara maulid di tempat tinggal saya di Lambhuk. Baiklah, akan saya mulai satu persatu.

Hari kamis kemarin tiba-tiba saya membaca sebuah tweet di akun @iloveaceh yang mengabarkan akan adanya acara pelepasan anak penyu atau tukik sebanyak seratus biji lebih di pantai Ujong Pancu, kecamatan pekan bada. Mendapat kabar ini, saya coba cek jadwal saya sore hari itu dan ternyata tidak ada kegiatan yang berarti. Saya balas ke akun tersebut sambil menanyakan lokasi persisnya dan jam berapa acara dimulai. Saya dapat jawaban bahwa acara dimulai jam setengah lima sore, “datang langsung kesana”, begitu sebutnya.

Anak tukik yang baru berusia sehari

Anak tukik yang baru berusia sehari

Selesai shalat asar dirumah, saya langsung menuju ke lokasi, dari rumah saya di lambhuk butuh waktu sekitar 20 menit, maklum saat itu sudah masuk jam pulang kantor dan beberapa titik di Banda Aceh biasanya macet. Kawasan Ujong Pancu bukanlah hal baru bagi saya, karena memang ibu saya berasal dari daerah sana, tepatnya di desa lam phim. Waktu kecil saat almarhum kakek masih hidup, saya sering dibawa pulang ibu kesana, dan kalau sudah ke daerah pesisir pantai ini, waktunya lebih banyak saya habiskan bermain di pantai dibandingkan dengan di rumah. Kecuali ibu saya, keluarga besarnya masih tinggal di deretan desa dari arah Ulee Lheu hingga ke Lambadeuk, sehingga saat Tsunami 2004 menyapu daerah ini, hampir semua sepupu ibu saya meninggal, baik yang tinggal di Lam manyang, Lambadeuk, lam Isek dan sebagainya. Kini hanya ada beberapa adik nenek saya yang selamat dan masih menetap di daerah Lambadeuk, di rumah mereka juga biasanya saya “piyus” setiap kali berkunjung ke daerah ini.

Tiba disana, rupanya sudah banyak yang berkumpul. Dari baju atau asesoris yang merekai pakai, saya bisa menebak bahwa mereka dari beberap organisasi online yang ada di Banda Aceh, seperti komunitas penggemar AC Milan Aceh, komunitas I love Aceh, Komunitas pencinta alam hingga komunitas @keswaID. Sambil lempar senyum, saya langsung saja berbaur dan mendekat sebuah sudut dimana tukik tukik yang akan dilepas diletakkan.

Arena pelepasan tukik yang dipersiapkan oleh panitia

Arena pelepasan tukik yang dipersiapkan oleh panitia

Disana juga saya temui nenek saya yang tinggal di Lambadeuk, melihat kehadiran saya, acara cipika cipiki tidak dapat dihindarkan, maklum beliau kaget karena berfikir saya masih di Jerman. Tapi setelah menjelaskan duduk perkaranya, bahwa saya sudah sebulan di Aceh dan banyak hal yang saya kerjakan sehingga belum sempat berkunjung ke rumah beliau, beliaupun mengerti. Meski warga yang ingin menyakasikan acara pelepasan tukik ini terus berdatangan, tukik yang imut imut ini belum juga dilepaskan, padahal arena pelepasan berupa garis di pinggir pantai sudah disiapkan. Tanya ke beberapa panitia yang juga saudara jauh ibu saya, katanya menunggu air laut naik (pasang) sedikit lagi.

Penyu hijau atau Chelonia mydas ini memang keberadaannya terus berkurang, akibat prilaku buas manusia yang memburu induknya untuk dijual dan memburu telurnya untuk dimakan. Padahal selain manusia predator mereka cukupĀ  banyak, dari kecil dan baru menetas saja mereka sudah diburu oleh elang, dan karnivora lainnya.

Anak anak berebut untuk melepas tukik

Anak anak berebut untuk melepas tukik

Aktivitas penyelamatan penyu laut yang di prakasai oleh para pemuda dan penduduk lokal ini layak diancungi jempol, diikuti dan di support, karena bukan tidak mungkin, jika telur telurnya terus diburu dan dimakan atau dijual, bukan tidak mungkin suatu saat hewan ini akan punah, seperti penyu air yang dulu banyak di sungai kampung saya.

Waktu saya kecil, penyu air tawar cukup banyak berkeliaran di kampung saya. Dalam bahasa Aceh, penyu air tawar ini disebut dengan “peunyi atau lantui”. Kata-kata “lantui” ini juga sering dipakai orang tua untuk menakut nakuti anak kecil yang sangat hobi mandi di sungai atau suka “meu-inshok” pada saat mendekati waktu salah magrib. Nah, ceritanya karena banyaknya penyu air dulu, sering kami berlomba lomba cepat datang kesungai di waktu pagi hari. Tandanya jika saat matahari tenggelam berwarna merah merekah, berarti nanti malam akan ada “peunyie” yang bertelur dan besok pagi kami akan cepat cepat ke sungai mencari telur penyu ini.

Dan anak anak yang baru berumur sehari itu kembali ke habitatnya

Dan anak anak yang baru berumur sehari itu kembali ke habitatnya

Kalau beruntung kami bisa dapat sarangnya dengan telur sebanyak 50 hingga 100 biji. sayangnya karena kerakusan kami, jarang ada telur yang ditinggal disarang alias diambil semua. sehingga populasi penyu air tawar ini terus berkurang dari hari ke hari. Faktor lain yang membuat punahnya punyie di sungai seulimum adalah banyaknya warga yang memancing atau menembak induk penyu untuk dijual ke warga cina di peunayong, sehingga sekarang saat kita kesungai, tak ada lagi penyu ini sama sekali. Hal ini juga terjadi pada penyu laut dimana setiap telurnya bisa diharga hingga 5000 rupiah sebutir, sama dengan 5 buah butir telur. Tidak heran jika upaya pembiakan ini tidak dilakukan dan pemburuan telur penyu ini dicegah, anak cucu kita tidak akan bisa melihat lagi tukik tukik yang berenang bebas di lautan

Ternyata, manusia itu predator paling berbahaya ya!